Wisata Perjamuan Istana Jadi Tren

Written By Unknown on Minggu, 07 Oktober 2012 | 10.17

Nasi Abdul Qodir Jaelani di keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

TEMPO.CO , Cirebon: Dua puluhan ibu anggota Dharma Wanita sebuah kementerian berdiri di pintu gerbang Keraton Kacirebonan, Cirebon, Jawa Barat, Kamis dua pekan lalu. Siang itu mereka berdiam sebentar menikmati tarian sambutan yang dibawakan enam gadis di gerbang. Saat berjalan menuju tempat pergelaran di teras keraton, mereka ditebari bunga melati.

Begitu duduk, gelas wine sudah tersaji di depan mereka untuk diisi air mineral yang berada di dekatnya. Sebagian peserta memilih mengisi gelas dengan sirop khas Cirebon. Tak lama berselang, sang raja, Gusti Pangeran Raja Adipati Abdul Gani Natadiningrat Dekarangga, keluar bersama istrinya, Ratu Lalo, dan seorang anaknya. "Kunjungan ini amat penting sebagai partisipasi pelestarian budaya kami," kata Sultan Gani.

Partisipasi yang dimaksudkan adalah kesediaan para tamu raja itu membayar paket tur tersebut. Sebagian uangnya nanti akan disumbangkan untuk pelestarian budaya keraton. Selama sekitar sepuluh tahun terakhir, tradisi perjamuan makan para raja di sejumlah keraton di Tanah Air—di Cirebon, Yogyakarta, Solo, atau tempat lainnya--ditawarkan sebagai paket wisata sejarah budaya. Peserta paket wisata ini mendapat pengalaman menikmati suguhan makan malam ala kerajaan.

Para tamu, dengan merogoh kocek Rp 200 ribu hingga Rp 3 juta, berhak mendapat sepaket jamuan makanan keraton dan budaya. "Tamu senang bisa dijamu raja, keraton juga senang mendapatkan partisipasi masyarakat untuk melestarikan keraton," kata Sultan Gani.

Sultan Gani kemudian mempersilakan tamu-tamunya makan. Menu yang dihidangkan boleh dibilang cukup sederhana: nasi lengko, mi kocok Cirebon, sirop buah, kerupuk melarat, tahu gejrot, dan es krim durian. "Harusnya sih nasi bogana dan ikan bekasem, tapi terlewatkan tadi," kata Ratu Cahya Sumirat, kakak Sultan Gani.

Toh, hidangan menu sederhana itu tak mengurangi keriangan para tamu. Sebab, mereka mendapat suguhan atraksi tarian yang tak pernah mereka lihat. Mereka dijamu dengan tari Topeng, Panji Kelana, dan Sintren. Boleh dibilang, Sintren mirip jathilan yang dimainkan oleh perempuan. Sang penari akan mengalami trance (kesurupan) setelah dibacakan mantra berupa nyanyian dan menghirup asap kemenyan.

Saat Sintren digelar, para tamu, yang membayar Rp 200 ribu untuk menikmati jamuan dengan raja itu, diminta melemparkan koin ke tubuh gadis penari yang sedang trance. Jika koin itu terkena tubuhnya, gadis itu akan jatuh dan dua petugas siap menjaganya.

Tari Topeng Kelana dimainkan oleh seorang pria. Gerakannya patah-patah dan iramanya mengentak. "Tarian ini merupakan pengingat sultan untuk dirinya sendiri agar tetap berpijak di bumi. Sebab, jika seseorang sudah berkuasa, ia biasanya akan lupa diri dan menghalalkan segala cara," ujar seorang pria yang bertugas menjadi pengatur acara.

Semua sajian pertunjukan tari itu ditutup dengan tayuban. Tamu yang mendapat kalungan selendang harus menari bersama penari utama. "Baru sekarang saya menari tayub," kata Lestari Ningrum, 30 tahun, salah seorang tamu.

Tarian juga disajikan dalam paket perjamuan di Keraton Surakarta, Jawa Tengah, yang menyuguhkan tarian eksklusif Bedhaya Ketawang. Raynia Atmadja, 37 tahun, adalah salah seorang peserta wisata yang mendapat kesempatan tersebut. Beberapa waktu lalu, penyiar radio di Jakarta itu menjadi salah satu di antara kelompok kecil peserta tamu Jumenengan (ulang tahun pengangkatan) Raja Keraton Surakarta.

Nia–sapaan akrabnya–tertarik mengikuti upacara jumenengan lantaran memang ingin melihat tari Bedhaya Ketawang. "Itu tarian kan sakral banget, hanya ditarikan saat jumenengan raja, dan penarinya harus puasa dulu, masak saya lewatkan," ujarnya.

Sebelum Bedhaya Ketawang ditarikan, asap dupa dinyalakan. "Ada yang bilang, kalau beruntung, saya akan melihat yang menari bukan sembilan tapi sepuluh orang." Saat tari Bedhaya Ketawang digelar, yang harus dibawakan oleh perawan kecuali putri raja, penguasa Laut Selatan, Ratu Kidul, dipercaya hadir dan ikut menari. Sayang, selama 90 menit tarian itu dimainkan, Nia tak melihat penari kesepuluh. "Mungkin karena fokus saya jadi ke situ terus."

Asap kemenyan yang seolah memanggil arwah itu menghadirkan suasana lain dalam prosesi yang berlangsung siang hari di tengah panas menggantang itu. "Bayangkan, saat itu panas banget, tapi tiba-tiba ada angin besar, merinding saya waktu itu," Nia menuturkan.

Meski memiliki tari Bedhaya juga, para tamu raja di Keraton Kasultanan Yogyakarta diberi suguhan atraksi tari Ramayana dan Golek Menak. "Itu tarian klasik yang hanya ditarikan di Keraton Yogyakarta," ujar Fadli Fahmi Ali, Director of Sales and Marketing Royal Ambarukmo, Yogyakarta.

Berbeda dengan tamu di Keraton Cirebon yang memakai baju bebas, para tamu raja di Keraton Kasultanan Yogyakarta harus mengenakan busana khusus. Mereka didandani sebagai bangsawan Jawa. "Pakai beskap, kain, blangkon, lengkap dengan kerisnya," kata Teguh Supriyatno, 40 tahun, yang mendapat undangan untuk menjajal royal dinner di Keraton Wetan atau Keraton Ambarukmo Kasultanan Yogyakarta, akhir tahun lalu.

Hal yang sama terjadi pada upacara jumenengan di Solo. Para tamu diharuskan mengenakan kebaya, kain, dan bersanggul bagi perempuan. Untuk pria, diharuskan mengenakan beskap dan kain. "Semua sudah termasuk paket itu," kata Direktur Pelaksana dan Produser Eksekutif PT Gelar Nusantara, Kumoratih Kushardjanto, yang mengadakan paket menjadi tamu raja Solo itu.

Selain tarian dan makanan, para tamu bisa merasakan atmosfer aristokrat Jawa yang masih lekat di keraton. Nia takjub pada kesetiaan para abdi dalem yang mencintai raja meski tak diperbolehkan masuk ke ruangan upacara seperti dirinya yang orang luar. "Ada yang boleh, tapi ada yang enggak boleh. Mereka tetap laku ndhodhok," ujarnya. Laku ndhodhok adalah berjalan dengan jongkok.

Sedangkan Teguh terkesan oleh prosesi jodang. Ini adalah perjamuan yang dilakukan tujuh abdi dalem keraton untuk raja. Makanan yang dipersiapkan untuk raja diletakkan dalam wadah khusus (jodang) dan dipanggul sebelum dipersembahkan dengan laku ndhodhok. "Rasanya menyenangkan sekali dijamu khusus dengan peralatan kuno," katanya.  

ISTIQOMATUL HAYATI

Berita Lainnya:
Wisata Sepeda ke Singapura 3 Hari Cuma Rp 3,9 Juta
Kota Yogya Peringati Ultah tanpa Java Carnival
Gunung Bromo Waspada, Pengunjung Dibatasi 
Kafe di Jepang Tawarkan Teman Tidur Cantik
Situs Gunung Padang Butuh Tempat Sampah


Anda sedang membaca artikel tentang

Wisata Perjamuan Istana Jadi Tren

Dengan url

http://gotravelovers.blogspot.com/2012/10/wisata-perjamuan-istana-jadi-tren.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Wisata Perjamuan Istana Jadi Tren

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Wisata Perjamuan Istana Jadi Tren

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger